Berkunjung ke bumi ale-ale Ketapang benar-benar membuat saya terheran-heran. Bagaimana tidak, kabupaten dengan sejarah kerajaan cukup tua di Kalimantan Barat itu ternyata menyimpan prostitusi terselubung.
ADONG EKO, Ketapang
Perjalanan menuju Ketapang saya lewati melalui udara. Menggunakan pesawat dari bandar udara Supadio Pontianak, saya tiba di Bandar Udara Rahadi Usman, Sabtu sore, 12 Maret, sekitar pukul 15.30.
Setibanya di bumi Ale-ale, saya langsung dijemput oleh salah seorang tokoh masyarakat setempat, dan langsung diajak untuk santai di depan Keraton Matan. Keraton yang menyimpan sejarah perjalanan, perkembangan agama itu menjadi bukti bahwa warga setempat menjunjung tinggi norma-norma agama.
Perjalanan kali ini adalah yang pertama bagi saya. Maka wajar saja, jika berbagai pertanyaan muncul mengenai seluk beluk Ketapang. Hingga akhirnya saya benar-benar dikejutkan dengan cerita mengenai kawasan prostitusi yang keberadaanya seperti dilegalkan.
Rangge Sentap nama kawasannya. Sebuah komplek rumah toko (ruko) di Jalan Imam bonjol itu ternyata tempat lokalisasi terbesar. Setiap ruko berisi lebih dari lima wanita yang siap menggoda pengunjung yang datang.
Ruko berlantai dua itu yang dulunya merupakan pasar ikan sudah berubah wajahnya. Ruko-ruko itu ditata sedemikian rupa sehingga lebih mirip seperti diskotik dengan alunan musik menghentakkan telingga pandangan mata dibuat terbatas karena kelap kelip lampu berwarna. Setiap yang datang sudah dapat dipastikan akan terlena dengan kenikmatan sesaat yang ditawarkan para wanita penghibur.
Saya pun mencoba untuk singggah sejenak di kafe bernama Dahlia. Saat mobil yang ditumpangi berhenti tak jauh dari kafe, panggilan abang sayang pun keluar dari seorang wanita berambut sebahu. "Singgah dulu lah bang," kata seorang wanita bernama Dahlia.
Dahlia adalah mami dari 12 orang pekerja seks komersial di kafenya. Para wanita penghibur itu dianggap sebagai anaknya yang akan ditawarkan kepada lelaki hidung belang. "Liat-liat dulu bang, kami ini hanya cari makan," ucapnya merayu berharap saya dan beberapa teman turun.
Lirik mata ingin melihat pun tak bisa ditahan, posisi mobil yang semula jauh pun digeser untuk mendekat. Sehingga tampak jelaslah bagaimana belasan wanita penghibur yang berpakaian menggoda itu duduk manis menunggu waktu melayani permintaan pelanggannya. "Mau umur yang 19 tahun ada, di atas itu juga ada. Kalau yang janda saya kasih harga Rp500 ribu saja," Dahlia menawarkan.
Dengan membayar Rp500 ribu pengunjung mendapat satu wanita yang bisa dipilih dengan kamar yang disediakan sehingga tak perlu repot-repot atau merogoh kocek dalam untuk menyewa kamar hotel.
Saya pun mencoba untuk menawar namun sang mami menolak pengajuan harga yang dianggap lebih murah. "Saya sudah lima tahun jadi mami di sini, tidak ada harga sekali kencan Rp300 ribu apalagi sampai Rp200 ribu. Bisa lihat anak-anak saya ini barang bagus. Pasti memuaskan," ucap Dahlia.
Menurut Dahlia, tak hanya memuaskan, anak-anaknya pun dipastikan tak akan menularkan penyakit, karena kesehatannya selalu terjaga. "Aman, setiap tiga bulan sekali semua dicek kesehatan," kata Dahlia meyakinkan bahwa tak ada yang tertular HIV atau AIDS.
Sang mami benar-benar ingin ada tamu singgah di kafenya tak.ingin pengunjung pergi begitu saja seluruh anaknya pun dipanggil untuk segera menemani kami. Beruntung, saya dan teman lainnya memilih untuk pamit. "Kalau mau bawa anak saya ke hotel pun bisa, tapi harganya agak mahal lah," kembali Dahlia menawarkan.
Hampir sepuluh tahun kawasan yang semestinya menjadi pasar ikan itu menjadi kawasan prostitusi. Masyarakat pun merasah resah dengan aktivitas hiburan malam di sana karena tentu akan merusak citra daerah yang memiliki sejarah kental keagamaan. dikhawatirkan dapat meracuni anak-anak.
"Seingat saya praktek prostitusi di sana sudah berlangsung sejak 2005. Aneh memang, dari pasar menjadi tempat hiburan malam," kata seorang pemuda Ketapang, Rahmat Kartolo.
Keberadaan lokalisasi yang terkesan dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas pemerintah dikhawatirkan akan merusak generasi Ketapang yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin masa depan. "Bisa dilihat sendiri bagaimana di tempat itu semua orang bisa datang tanpa memandang apakah anak atau orang dewasa," ucap Rahmat.
Banyak dampak buruk jika tempat tersebut terus dibiarkan, mulai dari rusaknya moral hingga rentan dengan penyebaran penyakit. "Sudah saatnya Sentap dikembalikan fungsinya seperti semua. Jangan biarkan pristitusi bebas beraktivitas," harap alumni HMI Ketapang ini. (*)
Comments
Post a Comment